Abstract:
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis mengenai permasalahan yang muncul pasca diterbitkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, terutama dalam hal permohonan fiktif positif yang tidak lagi melalui PTUN, sehingga hal ini berpengaruh pada kewenangan absolut PTUN, dan untuk mencari jalan keluar yang lebih baik yaitu suatu upaya atau langkah hukum yang dapat dilakukan oleh pihak yang merasa dirugikan dengan keputusan fiktif positif pasca diterbitkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang bersifat normatif, penggunaan bahan hukum meliputi bahan hukum primer, sekunder dan tersier melalui teknik pengumpulan berupa studi kepustakaan. Pengolahan data dilakukan dengan metode kualitatif yaitu menseleksi, mengklasifikasi dan mensistematisasi secara logis data dan bahan hukum dari gejala-gejala yang sama.
Pasal 175 angka 6 UU Cipta Kerja telah menghapus ayat (4) dan (5) dari Pasal 53 UUAP yang mengatur mekanisme permohonan penetapan fiktif positif melalui PTUN, artinya keputusan-keputusan yang bersifat fiktif positif tidak perlu lagi diajukan kepada PTUN untuk mendapatkan putusan. Secara tidak langsung hal ini berdampak terhadap kewenangan absolut PTUN dalam memutuskan permohonan fiktif positif menjadi hilang dengan berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja. Hal ini dapat diartikan bahwa pembentuk Undang-Undang menghilangkan mekanisme kontrol badan yudisial atas tindakan pemerintah yang mengabaikan sesuatu permohonan yang ditujukan kepadanya (administrative inaction). Kemudian penelitian ini juga membahas mengenai upaya hukum yang dapat dilakukan yaitu jika terhitung 3 bulan dari diundangkannya Undang-Undang Cipta Kerja, namun Peraturan pelaksananya belum dibuat, maka perkara fiktif positif masih menggunakan peraturan lama yaitu bisa diajukan ke PTUN. Tetapi jika sudah lewat dari 3 bulan maka bisa juga masih lewat PTUN berdasarkan adanya adagium Ius Curia Novit dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang artinya hakim dianggap mengetahui semua hukum, sehingga Pengadilan tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara. Namun perlu dirumuskan dalam peraturan pelaksananya yaitu terhadap pihak yang dirugikan dalam keputusan fiktif positif tersebut dapat melakukan upaya hukum diluar pengadilan (non-litigasi). Alternatief Dispute Resolution perlu dipertimbangkan dan dikaji lebih seksama untuk digunakan sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara di masa mendatang.