Abstract:
Kata kunci: Politik Hukum, Desa Adat, Masyarakat Adat Dayak
ABSTRAK
Penetapan lewu atau disebut dengan nama lain sebagai Desa Adat menurut Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Pada dasarnya merupakan jalan alternatif di tengah sejumlah pilihan hukum yang tersedia, sebagaimana diamanatkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi terkait pengakuan hak-hak masyarakat adat, khususnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 tahun 2012. Dari problematika hukum itu, terbitlah harapan untuk dapat mempertahankan dan memperoleh pengakuan atas kawasan hutan adat dengan pilihan yakni menyongsong perubahan desa sebagai desa adat yang kemudian mengupayakan perolehan hak atas kawasan hutan adat melalui legalitas formal.
Hasil Penelitiannya adalah: Pertama, Perlu harmonisasi antara berbagai aturan teknis dalam penetapan desa adat, jangan justru saling meniadakan dan membuat semacam standar ganda yang berujung pada kebingungan dikala hendak diimplementasi oleh masyarakat adat, penetapan dan pengaturan terkait desa adat kedepan sebagaimana terpisah dalam pasal 98 huruf a (perda kabupaten) dan 109 (perda provinsi) mestinya juga bisa diperbaiki dengan dilakukan revisi atas dua pasal ini yang dimulai dengan revisi Undang-Undang Desa itu sendiri yang seharusnya juga diikuti dengan membuat tidak perlunya lagi adanya aturan teknis pada setingkat peraturan Menteri. Karena Keberadaan sumberdaya alam dalam hal ini diartikan hutan dan tanah merupakan basis material sekaligus simbolisasi keberadaan masyarakat adat itu sendiri. Keberadaan Desa Adat dalam Undang-Undang Desa memberikan peluang perbaikan posisi daripada masyarakat adat dalam menguasai dan mengelola ruang hidup dan wilayah kelolanya yang secara turun temurun. kedua, Pasca penetapan dan pengaturan terkait perubahan sebuah desa menjadi Desa Adat atau yang dikenal dengan nama lain atau konkretnya yang dikenal bagi orang Dayak sebagai Lewu, maka wilayah Desa Adat atau Lewu atau dikenal dengan penyebutan lain tersebut berdasarkan tata batas yang jelas dan diakui bersama para pihak terkait tidaklah lagi berlaku status daripada kawasan hutan, sesuai dengan sebagaimana yang telah diputuskan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 35/PUU-X/2012, dan juga putusan Mahkamah Konstitusi lainnya terkait masyarakat adat, dan tidak perlu lagi dibuat tata aturan pelaksana dibawahnya yang rumit dan berbelit, karena prinsip dari pengakuan dan perlindungan masyarakat adat semestinya tidak mengulang-ulang mengatur terkait hal yang sama. Arah politik hukum dalam desa adat dengan menggunakan kacamata normatif tentu dapat kita kategorikan pada jenis produk hukum yang responsif, karena sesungguhnya pengakuan bukanlah hak berian, karena seharusnya Politik hukum yang menjadi dasar acuan dalam upaya pengakuan dan perlindungan masyarakat adat berdasarkan identifikasi oleh diri dan komunitas itu sendiri.