Abstract:
Salah satu upaya hukum khusus untuk membela hak-hak terpidana adalah pengajuan Peninjauan Kembali (PK) sebagaimana diatur dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP sebagai hak terpidana atau ahli warisnya sebagaimana diperkuat oleh Putusan MK No. 33/PUU-XIV/2016. Kendati demikian, dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia berisi ketentuan yang mengatur tentang kewenangan Kejaksaan untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam Pasal 30C huruf h menimbulkan pertanyaan terhadap kedudukan dan legalitas Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan Peninjauan Kembali terlebih mengingat sifat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016 yang menganut asas erga omnes dan asas final and binding. Dalam kajian ini rumusan masalah dibuat sebagai berikut: (1) Apakah pemberian wewenang pengajuan peninjauan kembali kepada Jaksa pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 Pasal 30C huruf H bertentangan dengan Sistem Peradilan Pidana Indonesia? (2) Parameter apa yang menjadi ukuran Jaksa Penuntut Umum untuk dapat melakukan peninjauan kembali? Penelitian hukum yang digunakan dalam kajian ini adalah penelitian hukum normatif (normative legal research). Hasil penelitian menunjukan: Pertama, adanya perluasan wewenang Kejaksaan untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK)/ Herziening pada Pasal 30C huruf h Undang-Undang Kejaksaan Tahun 2021 mengesampingkan konsep due process of law sehingga tidak berkeadilan; Kedua, terdapat setidaknya tiga parameter bagi seorang Jaksa untuk mengajukan PK berdasarkan Pasal 30C huruf h UU Kejaksaan yang harus terpenuhi secara kumulatif. Adanya parameter ini berfungsi agar wewenang pengajuan Peninjauan Kembali oleh Kejaksaan diterapkan secara limitatif.