Abstract:
Penelitian ini membahas mengenai pertanggungjawaban pidana orang dengan gangguan jiwa bipolar. Bipolar merupakan suatu gangguan yang berhubungan dengan perubahan suasana hati mulai dari posisi terendah (depresif) atau tertekan ke tinggi (manik). Merujuk pada Pasal 44 KUHP menjelaskan barangsiapa yang melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit tidak dipidana. Dalam praktek di pengadilan perlu adanya pembuktian terhadap gangguan jiwa yang dialami pelaku berdasarkan keterangan ahli. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gangguan jiwa bipolar termasuk kedalam kategori tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana sesuai dengan pasal 44 KUHP dan untuk mengetahui pertimbangan Hakim dalam memutus perkara pidana terhadap orang dengan gangguan jiwa Bipolar. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif menggunakan pendekatan kasus (case approach). Adapun kesimpulan dari penelitian ini : 1. Berdasarkan bunyi Pasal 44 ayat (1) KUHP “barang siapa yang melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit tidak dipidana”. Akan tetapi, tidak semua jenis gangguan jiwa atau dalam hal ini penderita gangguan bipolar dapat membuat pelaku tindak pidana lolos dari jerat hukum dengan memanfaatkan isi Pasal 44 ayat (1) KUHP tersebut. Berkaitan dengan penyakit jiwanya, apakah termasuk dalam kategori yang ringan atau berat. Perlu adanya pembuktian terlebih dahulu terhadap korelasi penyakit gangguan jiwa Bipolar tersebut dengan tindak pidana yang dilakukannya berdasarkan keterangan ahli (psikiater) di persidangan. Sehingga terkait pembukti tersebut, dapat dinyatakan seseorang tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atau tidak terkait tindak pidana yang dilakukannya. 2. Majelis Hakim dalam memutus suatu perkara harus memperhatikan faktafakta hukum yang diperoleh dalam persidangan. Kemudian setelah unsurunsur terpenuhi, maka Majelis Hakim akan menjatuhkan putusan, putusan yang dijatuhkan merupakan putusan yang adil bagi terdakwa maupun masyarakat. Di dalam persidangan terdapat pertimbangan mengenai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa. Kemudian pertimbangan ABSTRAK
Penelitian ini membahas mengenai pertanggungjawaban pidana orang dengan gangguan jiwa bipolar. Bipolar merupakan suatu gangguan yang berhubungan dengan perubahan suasana hati mulai dari posisi terendah (depresif) atau tertekan ke tinggi (manik). Merujuk pada Pasal 44 KUHP menjelaskan barangsiapa yang melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit tidak dipidana. Dalam praktek di pengadilan perlu adanya pembuktian terhadap gangguan jiwa yang dialami pelaku berdasarkan keterangan ahli. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gangguan jiwa bipolar termasuk kedalam kategori tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana sesuai dengan pasal 44 KUHP dan untuk mengetahui pertimbangan Hakim dalam memutus perkara pidana terhadap orang dengan gangguan jiwa Bipolar. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif menggunakan pendekatan kasus (case approach). Adapun kesimpulan dari penelitian ini : 1. Berdasarkan bunyi Pasal 44 ayat (1) KUHP “barang siapa yang melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit tidak dipidana”. Akan tetapi, tidak semua jenis gangguan jiwa atau dalam hal ini penderita gangguan bipolar dapat membuat pelaku tindak pidana lolos dari jerat hukum dengan memanfaatkan isi Pasal 44 ayat (1) KUHP tersebut. Berkaitan dengan penyakit jiwanya, apakah termasuk dalam kategori yang ringan atau berat. Perlu adanya pembuktian terlebih dahulu terhadap korelasi penyakit gangguan jiwa Bipolar tersebut dengan tindak pidana yang dilakukannya berdasarkan keterangan ahli (psikiater) di persidangan. Sehingga terkait pembukti tersebut, dapat dinyatakan seseorang tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atau tidak terkait tindak pidana yang dilakukannya. 2. Majelis Hakim dalam memutus suatu perkara harus memperhatikan faktafakta hukum yang diperoleh dalam persidangan. Kemudian setelah unsurunsur terpenuhi, maka Majelis Hakim akan menjatuhkan putusan, putusan yang dijatuhkan merupakan putusan yang adil bagi terdakwa maupun masyarakat. Di dalam persidangan terdapat pertimbangan mengenai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa. Kemudian pertimbangan tersebut dijadikan alasan hakim dalam menjatuhkan putusan. Berdasarkan Putusan Nomor 1083/Pid.sus/2020/PN.Tng bahwa terdakwa mengidap penyakit gangguan jiwa Bipolar. Namun Majelis Hakim berpendapat, tidak ditemukan alasan pemaaf maupun alasan pembenar sebagai hal yang dapat menghapus sifat melawan hukum perbuatan terdakwa. Sehingga terdakwa dapat dijatuhi sanksi pidana.
Kata kunci : Pertanggungjawaban pidana, Bipolar, Studi Putusan