Abstract:
ABSTRAK
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual disahkan untuk menanggulangi banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi kepada perempuan dan anak, salah satu bentuk dari kekerasan seksual tersebut yaitu persetubuhan terhadap anak. Persetubuhan terhadap anak yang diatur dalam Pasal 6 huruf c jo. Pasal 15 huruf g undang-undang tersebut terindikasi mempunyai substansi atau makna pasal yang sama dengan Pasal 81 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Walaupun mempunyai substansi yang sama, sanksi yang mengancam dari masing-masing pasal tersebut berbeda.
Hasil penelitian yang diteliti menunjukkan bahwa: Pertama, rumusan delik Pasal 6 huruf c jo. Pasal 15 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual jika dibandingkan dengan Pasal 81 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak banyak memiliki persamaan dan ada sedikit perbedaan jika ditafsirkan dengan penafsiran autentik dan gramatikal. Perbedaan tersebut terdapat pada sanksi yang mengancamnya. Pasal 6 huruf c jo. Pasal 15 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, sanksi pidana berupa denda maksimumnya lebih rendah dan tidak mengatur sanksi pidana minimum. Kedua, tidak adanya sanksi minimum khusus dalam Pasal 6 huruf c jo. Pasal 15 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual akan berujung pada disparitas pidana yang semakin tidak bisa di minimalisir.
Kata kunci (Keyword): anak, persetubuhan, sanksi minimum